Senin, 21 April 2014

ASAL-USUL RAJA BUGIS

mariki membaca.......

Dipercaya bahwa asal-usul raja-raja di Sulawesi Selatan berasal dari To Manurung (orang bunian) manusia yang berasal dari langit turun ke bumi. To Manurung ini turun membawa segala kebesaran, kehormatan, dan kesaktiannya. Menurut riwayat kuno, daratan Sulawesi mengalami tiga kali kedatangan To Manurung. Siapa saja mereka?
Peristiwa pendaratan pertama:
Dipercaya bahwa mula-mula menjejakkan kakinya di daratan Sulawesi ialah “Tamboro Langi”. Lelaki perkasa ini berdiri di atas puncak gunung Latimojong. Ketika itu daratan Sulawesi masih tergenang air. Hanya puncak gunung Lompo Battang yang mencuat di sebelah selatan dan puncak gunung Latimojong di tengah-tengah.
Tomboro Langi kemudian memproklamirkan diri sebagai utusan dari langit untuk memimpin manusia. Dengan kata lain, dia mengangkat dirinya sebagai raja dan rakyat harus tunduk padanya.
Tamboro langi kawin dengan Tande Bilik, yaitu seorang gadis yang muncul dari busa air Sungai Saddang. Puteranya yang sulung bernama Sandoboro, beranakkan La Kipadada. La Kipadada inilah yang membangun tiga buah Kerajaan besar, yakni: di Ronjong asal mula Kerajaan Toraja, di Luwu asal mulanya Kerajaan Bugis, dan di Gowa asal mulanya Kerajaan Makassar.
Laksana garis nasib setiap peradaban, setelah keturunannya mengalami kejayaan, Kerajaan-Kerajaan itu pun mengalami kemunduran dan berakibat kekacauan.
Untuk mengatasai kekacauan ini, pendaratan kedua terjadi. Kali ini yang diutus masih seorang laki-laki yang bernama Batara Guru. Batara Guru kawin dengan We Nyilitomo. Puteri dari Pertiwi (Bumi Bawah). Dan memperoleh putera yang diberi nama Batara Lattu. Batara Lattu menikah dengan We Opu Sengngeng, puteri dari Masyrik. Dari pernikahan mereka ini, maka lahirlah puteranya yang bernama Sawerigading.
Sawerigading membentuk sebuah Kerajaan besar (negara) yaitu Kerajaan Luwu di Palopo, yang dibawahnya terdiri dari Kerajaan-Kerajaan yang masing-masing merdeka dan berdaulat. Seperti: Kerajaan Toraja, Palu, Wajo, Bone, Gowa, ternate dll.
Kejayaan Sawerigading menemui pula kemunduran dan berakhir vakum, tujuh turunan lamanya tidak ada raja di Sulawesi Selatan yang memerintah. Sehingga yang memegang pemerintahan hanya penduduk isi dunia yang asli.
Pendaratan ketiga pun terjadi. Namun pendaratan kali ini terdapat beberapa orang to manurung sekaligus beberapa tempat di tanah yang berbeda-beda. Seperti di Toraja, Luwu, Bugis, dan Makassar, yang menjadi pokok asal raja-raja yang memangku Kerajaan hingga saat ini.
Lalu bagaimana corak pemerintahan mereka? Era Tamboro langi’ merupakan era pemerintahan absolute monarchi, yaitu kehendak raja saja yang jadi; rakyat Cuma tunduk dan menerima titah raja. Sementara pada peristiwa to manurung ke tiga, corak pemerintahannya sudah agak demokrasi, meskipun diakui belum sempurna.
Peribahasa Bugis menyebutkan: “makkeda tenri bali, mette tenrisumpulang”. Artinya: “berkata tidak dapat dilawan, menyahut tak dapat disalahkan”. Gambaran akan Absolute Monarchi; apa yang dikatakan raja itulah yang terjadi.
Namun sedikit berbeda ketika kejadian To Manurung di Gowa. Ketika to Manurung menjejakkan kakinya di Tamalate, Patcallaya atas nama rakyat Gowa datang ke hadapa To Manurung dan berkata: “Ana’mang, bainemang, iapa nakkulle nipela, punna buttayya angkaeroki”. Artinya: “Anak kami, istri kami, hanya dapat disingkirkan kalau tanah (rakyat) yang menghendaki.
Nampak disini, sifat-sifat demokrasi mulai muncul dan berkembang ketika itu. bahwa seorang raja tidak bisa berbuat seamunya saja tanpa persetujuan adat. Hal ini terbukti ketika Tepu Karaeng Daeng Tarabung, Karaeng Bontolangkasa, raja Gowa XIII (1590-1593) diterjang ombak pemberontakan oleh rakyatnya sendiri, lantaran memerintah secara zalim. Beliau “diusir” dari kerajaannya pada tahun 1593.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar